
Bioskop. Tempat yang ideal untuk pedekate sekaligus untuk nyari inspirasi dari film yang ditonton. Seperti hal-hal lain yang ada dalam hidup, bioskop juga mengalami perkembangan. Nggak tahu-tahu bagus dan lantainya dilapisin karpet dan ruangan ber-AC kayak sekarang.
Dulu sebelum Indonesia dikuasai cabang-cabang bioskop, kita menikmati film di lapangan-lapangan. Filmnya diproyeksikan ke layar putih yang ditancapkan ke tanah dengan bantuan dua tiang. Makanya disebut layar tancap (alias layar tancep ya, ceu). Populer juga dengan sebutan misbar. Bukan saudaranya Dedi Miswar, melainkan singkatan dari ‘gerimis bubar’. Adik-adik yang sekarang ini memasuki masa abege mungkin nggak banyak tahu nih soal bioskop ini. Nah, sekarang mari kita bernostalgia...

Layar tancap atau bioskop keliling biasanya bisa kamu temui waktu ada yang hajatan, bisa acara resepsi pernikahan, sunatan, atau syukuran kelahiran bayi. Selain untuk muter film, dulu layar tancap juga dipakai untuk promosi atau sosialisasi dari instansi pemerintah. Maklum, soalnya media audio dan visual waktu itu kan masih jarang banget. Eh iya, film yang bersuara juga kan baru marak tahun 1930-an.
Tahun 1940-an, orang mulai males nonton film karena propaganda-propaganda Jepang. Saat itu banyak gedung bioskop yang udah berdiri malah seringnya kosong dan cuma dipakai sebagai gedung penyimpanan bahan-bahan pembuatan film. Untungnya beberapa tahun kemudian, film-film Amerika masuk, dan ternyata lumayan diminati masyarakat.
Di tahun 1951 ada bioskop Metropole mulai beroperasi, yang sempat dikenal dengan nama bioskop Megaria dan kapasitas penontonnya 1,700. Ngeselinnya di tahun ’60-an film dan bioskop mulai dimanfaatkan untuk hal-hal berbau politik. Ya nggak jauh beda sama propaganda Jepang dong ya. Saat itu film Amerika yang mulai diminati dibatasi dan diboikot. Akhirnya di tahun ’70-an, para pecinta dan pihak-pihak yang peduli sama film dan bioskop menyatukan kekuatan! Mereka pengin menghidupkan lagi bioskop. Pemerintah juga udah mulai ngasih kesempatan ke pemilik bioskop untuk mengimpor film-film dari luar negeri.

Eleuh... Si Kabayan ini mah mesti.
Namanya juga Indonesia, biasanya kalau ada layar tancap, pasti bakalan ada juga tukang makanan dan minuman yang tiba-tiba muncul. Haha. Enaknya lagi kalau layar tancapnya disedain sama orang yang lagi punya hajat. Kan nggak usah beli tiket tuh, jadi uangnya bisa buat jajan. Nontonnya bisa pilih tempat yang paling pewe.
Menurut seorang pengusaha layar tancap, sampai sekarang bisnis ini masih dapat banyak tawaran dari berbagai daerah, nggak dari Jabodetabek aja. Tapi tawaran harga dan jarak jadi pertimbangan. Serem juga kan kalau tempatnya jauh dan alat-alatnya harus dipaketin. Selain film, kadang alat-alatnya juga disewa untuk nonton bareng pertandingan sepakbola.

Sekarang kalau mau nyobain sensasi nonton di layar tancap, ada komunitas Kineforum yang suka bikin pertunjukan layar tancap gitu. Seru banget…

Kamu ngalamin zaman layar tancap, kah? Ceritain pengalamanmu saat itu dong!
(MN/Dyah/ bvoiceradio, kopi-ireng, detik)
0 comments:
Post a Comment