Home » » Membumikan Pesan Perjanjian Paris

Membumikan Pesan Perjanjian Paris

Indonesia and Earth from above - NASA 

Oleh: Hizbullah Arief *
Berita mengenai pergeseran poros bumi hingga rekor suhu terpanas melengkapi rangkaian berita lingkungan dunia dalam beberapa bulan terakhir. Indonesia berkepentingan terhadap semua perkembangan ini.
Penelitian NASA terbaru yang diterbitkan 9 April menyimpulkan, mencairnya es di Greenland dan benua Antartika akibat pemanasan global, telah menggeser poros rotasi bumi ke timur sebesar 17 cm per tahun. Perkembangan lain, Badan Meteorologi Jepang menyatakan Maret tahun ini sebagai bulan terpanas sejak 1891. Suhu Maret terukur 1,07 derajat Celcius lebih tinggi dibanding bulan-bulan lain dalam 125 tahun terakhir. Masih di bulan yang sama, NASA melaporkan rekor lompatan konsentrasi emisi gas rumah kaca tahunan (sebesar 3,05 PPM/parts per million) yang terjadi pertama kali dalam 56 tahun.
Kenaikan emisi gas rumah kaca, terciptanya rekor suhu terpanas, hingga bergesernya poros bumi menandai tahun El-Nino dimana bumi mengalami rekor musim kemarau dan hujan terparah sejak tahun 1998. Sistem iklim dan cuaca di bumi saling terkait. Indonesia merasakan dampak yang sama.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan, sebanyak 2,6 juta hektar hutan, lahan gambut dan lahan lainnya terbakar atau dibakar pada musim El-Nino tahun lalu. Nilai kerugian Indonesia akibat kebakaran hutan pada 2015 ini mencapai angka US$16 miliar (data Bank Dunia), dua kali lipat nilai kerugian dan kerusakan akibat bencana tsunami di Aceh pada 2004.
Bagaikan lingkaran setan, polusi akibat kebakaran hutan di Indonesia menyumbang emisi gas rumah kaca penyebab perubahan iklim dan pemanasan global. Laporan World Resource Institute menyebutkan emisi karbon harian Indonesia saat musim kebakaran terjadi melampaui emisi rata-rata harian Amerika Serikat selama 26 hari pada September 2015.
Ruang ilmiah
Saat sebagian wilayah dunia dilanda oleh krisis keamanan dan politik, disertai dengan berbagai propagandanya, ada satu (dari beberapa) ruang potensial yang bisa menjadi ruang bersama menuju terciptanya bumi dan lingkungan yang lebih baik. Ruang itu adalah ruang sains atau ilmu pengetahuan.
Ruang sains mendidik kita untuk berpikir sistematis. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan pola pikir sistematis sebagai upaya observasi, penelitian, dan uji coba yang mengarah pada penentuan sifat dasar atau prinsip sesuatu yang sedang diselidiki dan dipelajari. Bersama dengan pola berpikir manusiawi dan transendental, pola pikir ilmiah bisa menjadi salah satu keunggulan yang dimiliki setiap pribadi.
Negara maju bisa menjadi contoh “keberhasilan” pendekatan ini. Melalui ribuan bahkan jutaan kegagalan, negara-negara maju terus belajar tata cara pengelolaan lingkungan. Kasus air minum bertimbel di Flint, Michigan, Amerika Serikat menjadi salah satu contoh proses pembelajaran ini. Jepang juga masih bergulat dengan kasus pencemaran bahan radio aktif akibat kebocoran pembangkit listrik tenaga nuklir di Fukushima.
Dari sudut pandang ilmiah, jutaan ilmuwan saat ini terus bekerja baik di laboratorium maupun di lapangan, guna menemukan solusi terhadap masalah-masalah lingkungan, lokal maupun global. Dunia saat ini terus menjadi ruang laboratorium besar. Jika suatu saat solusi tersebut ditemukan, akan terwujud sebuah kearifan dunia untuk pengelolaan lingkungan yang lebih baik.
Salah satu “kearifan” di kalangan ilmuwan yang menonjol adalah konsensus mereka mengenai perubahan iklim. Kajian jurnal-jurnal ilmiah terkait perubahan iklim menyimpulkan bahwa 97% ilmuwan bahkan lebih sepakat perubahan iklim disebabkan oleh perilaku manusia yang terus merusak dan mengotori lingkungan.
Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, berkontribusi besar menjadi solusi perubahan iklim. Negara berkembang memiliki asset-aset lingkungan dan keanekaragaman hayati yang kini langka dimiliki oleh negara-negara maju. Negara seperti Indonesia dan Brazil juga dimiliki ribuan kearifan lokal yang – jika bisa dihubungkan dengan sistem distribusi ilmu pengetahuan global – akan menyumbang pada tata kelola lingkungan yang lebih baik.
Menjembatani kearifan lokal menjadi pengetahuan global dan sebaliknya, dimungkinkan melalui pelaksanaan berbagai program lingkungan, program hibah, program kerjasama teknis dan bantuan luar negeri. Melalui mekanisme tersebut, negara maju dan negara berkembang saling berinteraksi menuju terwujudnya solusi masalah-masalah lingkungan dan perubahan iklim.
Indonesia saat ini menjadi lokasi puluhan bahkan ratusan program bilateral dengan dana mencapai ratusan juta dolar. Ada program untuk mengatasi masalah kebakaran hutan dan lahan gambut. Ada program sanitasi dan kesehatan, program adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, program energi terbarukan dan perlindungan keanekaragaman hayati.
Program-program ini berpeluang besar menjadikan masyarakat lokal di Kalimantan Tengah dan Aceh misalnya sebagai subyek bagi terwujudnya solusi lingkungan dimulai dari wilayah mereka. Mereka bisa berbagi kearifan lokal mengenai tata cara pengelolaan hutan dan lahan gambut guna mencegah kebakaran hutan, deforestasi dan melindungi keanekaragaman hayati. Demikian juga masyarakat di Papua. Mereka bisa berbagi tata cara pengelolaan hutan mangrove untuk keberlanjutan mata pencaharian mereka.
Sementara para peneliti dengan pendekatan ilmiah mencoba mewujudkan kearifan tersebut menjadi solusi yang lebih terukur dan sistematis. Pembelajaran dan pengetahuan bisa terwujud melalui interaksi ini.
Mekanisme berbagi informasi tersedia, melalui teknologi informasi baru (telepon pintar, sosial media dan Internet). Sementara lisensi Creative Commons memudahkan kita menggunakan informasi yang bermanfaat bagi publik.
Dan kolaborasi dunia sekali lagi akan diuji di New York, Amerika Serikat pada 22 April. Lebih dari 160 negara akan menandatangani Perjanjian Paris bertepatan dengan peringatan Hari Bumi 2016. Aksi mereka adalah perwujudan upaya menguatkan “kearifan” perubahan iklim, menciptakan solusi terhadap permasalah lingkungan global.
Penandatanganan ini masih harus ditindaklanjuti dalam bentuk ratifikasi Perjanjian Paris. Ratifikasi berarti mereka harus membumikan pesan dan solusi dari Perjanjian Paris ini menjadi aksi yang sesuai dengan target mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di masing-masing negara, termasuk di Indonesia.
Tugas media lingkungan adalah mewujudkan jembatan antara kearifan lokal menuju ke kearifan dunia (dan sebaliknya) melalui pemberitaan yang mudah dipahami dan menginspirasi.
Media juga berkewajiban mengontrol dan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana jutaan dolar untuk proyek-proyek bilateral di bidang lingkungan dan perubahan iklim. Penggunaan dana-dana ini harus dilaporkan, baik ke pemerintah melalui Bappenas dan kementerian terkait maupun ke para pembayar pajak di negara-negara maju.
Dengan begitu, satu langkah upaya membumikan pesan lingkungan dan perubahan iklim, menjembatani kearifan lokal menuju kearifan dunia akan terwujud. Selamat Hari Bumi 2016.
* Hizbullah Arief adalah Pendiri (Founder) Hijauku.com – Situs Hijau Indonesia. (MN/Hijauku)
Share this article :

1 comments:

 
Support : FACEBOOK | TWITTER | INSTAGRAM
Copyright © 2008-2016. DMY OFFICIAL - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by DMY OFFICIAL
Proudly powered by Blogger