Pemanasan
global, yang dicirikan dengan terus bertambahnya emisi gas rumah kaca,
akan meningkatkan curah hujan di bumi rata-rata 7% dibanding masa
praindustri. Peningkatan curah hujan ini – bersama dengan korupsi dan
salah kelola lingkungan – meningkatkan risiko bencana alam seperti
banjir, erosi dan tanah longsor.
Sejumlah negara – tak terkecuali Indonesia – berupaya mengatasi dan
mengurangi dampak pemanasan global ini dengan memodifikasi iklim. Teknik
modifikasi ini dikenal dengan istilah “geoengineering”. Penelitian terbaru
dari National Center for Atmospheric Research (NCAR) mengungkapkan,
modifikasi iklim ternyata berdampak negatif pada lingkungan.
Modifikasi iklim akan mengurangi curah hujan, meningkatkan risiko
kekeringan dan kekurangan air di berbagai wilayah di bumi. Menurut NCAR,
modifikasi iklim akan menurunkan curah hujan hingga 5-7% di wilayah
Amerika Utara, Asia Timur dan wilayah-wilayah lain. Secara rata-rata,
modifikasi iklim akan menurunkan curah hujan di bumi hingga 4,5%.
“Modifikasi tidak bisa menjadi solusi (untuk mengatasi krisis
iklim),” ujar Simone Tilmes, ilmuwan NCAR yang memimpin penelitian ini.
“Curah hujan tidak akan bisa kembali normal seperti pada masa
praindustri,” tuturnya.
Ilmuwan memertimbangkan beberapa jenis modifikasi iklim untuk
mengurangi dampak pemanasan global dan perubahan iklim. Jenis modifikasi
tersebut adalah dengan menangkap CO2 sebelum masuk ke atmosfer serta
penyebaran partikel sulfat serta menempatkan kaca di atmosfer untuk
memantulkan kembali radiasi matahari ke luar angkasa.
Penelitian ini berfokus pada upaya modifikasi yang kedua yaitu upaya
“memayungi” bumi dari radiasi matahari. “Jika Anda tidak menyukai
pemanasan global, Anda bisa mengurangi cahaya matahari yang mencapai
bumi. Upaya ini akan mendinginkan iklim. Namun jika hal itu Anda
lakukan, curah hujan akan menurun dalam jumlah besar. Tak ada solusi
yang saling menguntungkan di sini,” tuturnya.
Tim peneliti menyatakan, ada dua alasan penurunan curah hujan jika
radiasi matahari dicegah memasuki bumi. Alasan pertama adalah menurunnya
proses evaporasi/penguapan air laut. Dalam siklus hujan, sinar matahari
menguapkan air laut. Uap air laut ini kemudian memasuki atmosfer
membentuk awan hujan. Awan hujan ini kemudian terbawa angin menyebar ke
berbagai wilayah.
Alasan kedua berhubungan dengan tanaman. Saat emisi CO2 semakin
banyak, tanaman akan menutup sebagian stomata mereka. Stomata adalah
celah-celah pada daun yang berfungsi menyerap CO2 dan melepaskannya
kembali dalam bentuk O2 melalui proses fotosintesis.
Saat stomata tertutup sebagian, jumlah air yang menguap dari tanaman
akan semakin sedikit. Sehingga, saat radiasi berkurang, kapasitas
fotosintesis juga akan berkurang, stomata akan semakin tertutup.
Alhasil, penguapan air dari tanaman makin berkurang, atmosfer akan
semakin dingin dan lahan akan semakin gersang. (MN/Hijauku)
Modifikasi Bukan Solusi Krisis Iklim
Related Articles
Kalau kamu suka artikel DMY Official Klik Disini, atau berlangganan untuk menerima konten yang lebih besar persis seperti itu.
0 comments:
Post a Comment