Home » » Selamat Hari Kartini: Si Darah Biru yang Kesal Disebut Putri Bangsawan

Selamat Hari Kartini: Si Darah Biru yang Kesal Disebut Putri Bangsawan


Raden Ajeng Kartini tidak pernah punya keinginan untuk tumbuh di tengah keluarga bangsawan yang dipandang tinggi masyarakat umum.
Ayah Kartini, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, merupakan Bupati Jepara di masanya. Ibu tirinya, Raden Ayu Muryam, merupakan keturunan keluarga raja di Madura.
Kepada sahabat penanya, Estella Helena Zeehandelaar, Kartini mengungkapkan kekesalannya dipandang tinggi sebagai keluarga bangsawan.
"Apakah saya seorang anak raja? Bukan. Seperti kamu juga bukan," tulis Kartini dalam suratnya kepada Stella, sebagaimana tertulis dalam buku Surat-surat Kartini. Renungan tentang dan untuk Bangsanya (1979).
"Raja terakhir dalam keluarga kami, yang langsung menurunkan kami menurut garis keturunan laki-laki, saya kira sudah berlalu 25 keturunan jauhnya," lanjutnya.
Kartini tidak peduli dengan gelar apa pun yang dimiliki moyangnya terdahulu. Menurut dia, hanya ada dua macam bangsawan, yakni bangsawan jiwa dan bangsawan budi.
Dalam suratnya, Kartini pun menyindir orang-orang yang begitu bangga memamerkan gelar kebangsawanannya.
"Di manakah gerangan letak jasa orang bergelar graaf atau baron (gelar untuk bangsawan)? Pikiran saya yang picik tidak sampai untuk memikirkan hal itu," kata Kartini.
Kepada Stella, Kartini bercerita betapa marah dia dan saudarinya saat dipanggil "putri-putri Jawa" oleh sejumlah perempuan asal Den Haag. Saat itu, Kartini dan keluarganya tengah menghadiri Pameran Karya Wanita.
Orang Eropa, lanjut dia, lebih sering memanggil mereka "freule" (putri) alih-alih "Raden Ajeng". Betapa kesalnya Kartini karena setelah dijelaskan beberapa kali pun, orang-orang tetap memanggil mereka "freule".
Suatu waktu, tulis Kartini, seorang berkebangsaan Belanda datang untuk berkenalan dengan dirinya dan dua saudarinya. Melihat penampilan tiga anak Bupati Jepara itu, orang Belanda tersebut berbisik ke ayah Kartini.
"Bupati, saya membayangkan pakaian putri-putri begitu gemerlapan, keindahan ketimuran yang luar biasa. Tapi anak-anak Tuan sederhana sekali," ujar orang Belanda tersebut, sebagaimana dituliskan Kartini dalam suratnya tertanggal 18 Agustus 1899 itu.
Kartini menyenangi perbincangannya dengan Stella karena gelar bangsawan jarang terselip di setiap balasan suratnya. Kartini senang mengetahui bahwa Stella menganggapnya sebagai perempuan biasa, yang sama-sama lantang dan keras menyerukan kebebasan.
"Harapan saya selalu, agar kamu senantiasa memanggil nama saya dan tetap berengkau-kamu kepada saya. Lihat sajalah, betapa baiknya saya mengikuti contohmu," kata Kartini, yang ketika itu berusia 20 tahun.
 
Tak Suka Kekakuan
Raden Ajeng Kartini benci dengan segala kekakuan. Namun, prinsipnya akan kebebasan, bertentangan dengan kodrat dirinya sebagai perempuan yang hidup di lingkungan bangsawan Jawa, di mana tata krama harus dijunjung tinggi.
Kartini yang merupakan anak kelima dari 11 bersaudara itu pun menjadi penggerak dalam mendobrak kekakuan di keluarganya.
Hal tersebut ia tuliskan dalam suratnya kepada sahabat penanya, Estella Helena Zeehandelaar, sebagaimana tertulis dalam buku Surat-surat Kartini. Renungan tentang dan untuk Bangsanya (1979).
"Di antara kami, mulai dari saya, kami tinggalkan semua adat sopan-santun (yang kaku). Perasaan kami sendiri yang harus mengatakan kepada kami sejauh mana cita-cita ingin bebas kami boleh bergerak," tulis Kartini dalam suratnya.
Kartini memberi gambaran kepada Stella betapa ketatnya tata krama di keluarganya. Misalnya, adik-adik Kartini tidak boleh berjalan mendahuluinya, kecuali merangkak, merendah di hadapannya.
Kemudian, jika Kartini melintas saat adiknya duduk di kursi, adiknya itu harus turun dari kursi dan duduk di bawah dengan kepala tertunduk sampai Kartini jauh melewatinya.
Tak hanya itu, untuk sekadar memanggil "aku" dan "engkau" pun dilarang. Itu pun setelah menyampaikan kalimat kepada Kartini, maka adik-adiknya harus memberikan sikap hormat, yakni dengan menangkupkan kedua telapak tangan dan diangkat ke bawah hidung.
Begitu pun jika ada makanan enak di atas meja, yang usianya lebih muda tidak boleh menyentuhnya sebelum yang lebih tua mengambilnya. Kartini menulis:
"Kepala saya merupakan yang terhormat. Adalah larangan keras untuk mereka sentuh (kepala saya), kecuali dengan izin khusus saya dan setelah beberapa kali menyembah."
"Aduh, kamu pasti menggigil kalau kamu jatuh di lingkungan keluarga bumiputera yang terkemuka semacam itu."
Kartini ingin menyudahi tata krama yang menurutnya tidak sesuai dengan keinginan hatinya tersebut, karena dianggap berlebihan. Ia tidak ingin adik-adiknya merasa terkekang oleh
adat.
Maka, Kartini pun membiarkan saudara di bawahnya bergaul bebas dengan dirinya tanpa harus dibatasi tetek bengek norma yang membuatnya tampak "tinggi".
Setelah itu, kata Kartini, tidak ada lagi kekakuan antara dirinya dengan adik-adiknya. Mereka sesukanya menyapa dengan sebutan "kamu" dan "aku" saat berbicara kepada Kartini. Mereka tidak lagi menahan tawa hingga mulut terbuka lebar.
Mulanya, banyak orang yang mencela kebebasan mereka. Orang-orang menyebut Kartini dan adik-adiknya seperti orang tak berpendidikan.
Bahkan, Kartini disebut "kuda gila" karena cara berjalannya yang melompat-lompat, tidak anggun sebagaimana perempuan Jawa pada umumnya.
"Tetapi setelah orang melihat bagaimana mesra serta menyenangkan perhubungan di antara kami, setelah ibu etiket melarikan diri dari semangat kebebasan kami, inginlah orang akan persatuan kami yang selaras, yang terutama terjalin di antara kami bertiga," ujar Kartini. (MN/Kompas)
Share this article :

0 comments:

Post a Comment

 
Support : FACEBOOK | TWITTER | INSTAGRAM
Copyright © 2008-2016. DMY OFFICIAL - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by DMY OFFICIAL
Proudly powered by Blogger